LPPSLH - Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup

Hasil Produksi Gula Semut dari Cilacap Bakal Menyebar di Belanda

Direktur LPPSLH, Direktur P3R, berfoto bersama Bupati Cilacap usai launching ekspor Gula Semut.

Direktur LPPSLH, Direktur P3R, berfoto bersama Bupati Cilacap usai launching ekspor Gula Semut.

Hasil Produksi Gula Semut dari Cilacap Bakal Menyebar di Belanda – Gula semut hasil produksi dari petani kelapa di Desa Karangsari Kecamatan Adipala mulai diekspor ke pasar Belanda. Gula semut siap ekspor seberat 9 ton yang sudah di packing dalam kontainer, dilepas secara simbolik oleh Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji, di Alun-alun Cilacap, Kamis (9/11).

Petani gula semut tersebut merupakan hasil binaan dari Dinas Perdagangan, Koperasi dan UMKM Kabupaten Cilacap dan Lembaga Penelitian Pengembangan Sumberdaya, dan Lingkungan Hidup (LPPSLH). Kali ini ekspor gula semut organik langsung kepada buyer di Belanda.

Kepala Dinas Perdagangan, Koperasi dan UMKM Kabupaten Cilacap, Dian Arinda Murni mengatakan ada sekitar 15 ribu petani penderes di Cilacap, namun yang dibina baru ada sekitar 300 petani. Karena itu, mengingat pasar gula semut yang tinggi, terutama di Eropa dan Amerika, Pemkab Cilacap akan terus memberikan pembinaan kepada petani sehingga bisa memproduksi gula semut.

“Insyaallah pendampingan yang dilakukan petani tidak hanya dilakukan 2015 sampai saat ini, tetapi akan terus dibina sampai semua 15 ribu petani ini bisa membuat gula semut,” katanya.

Untuk kelanjutan dari ekspor ini, Reny, begitu dia disapa mengaku optimis keberlanjutannya. Terutama dengan adanya pendampingan yang akan terus dilakukan maka produksi gula semut untuk ekspor akan terus terpenuhi.

“Yang diekspor baru 9 ton, tapi kami optimis, ke depan akan bertambah. Terutama jika semua petani gula di Cilacap bisa merubah mindsetnya dari gula konvensional ke gula semut,” katanya.

Pasar Gula semut di Eropa dan Amerika, kata dia masih terbuka lebar. Banyak buyer dari luar negeri yang berminat akan gula semut, salah satunya dari Belanda, yang dituju untuk ekspor kemarin. Ekspor gula semut ini melalui ekportir dari Pusat Pengembangan Produk Rakyat (P3R).

Direktur LPPSLH, Bangkit Ari Sasongko mengatakan, selama ini LPPSLH memberikan pendampingan dengan dukungan dari Pemkab Cilacap. Potensi yang dimiliki oleh Cilacap untuk produksi gula semut masih tinggi. Karena masih belum tergarap semua petani penderes yang memproduksi gula semut ini.

“Potensi masih ada 15 ribu petani kelapa, tetapi yang tersertifikasi kurang dari 5.000. Jadi kuota ekspor ini masih bisa ditingkatkan, selama petani ini berkomitmen untuk melaksanakan program pertanian roganik, serta ada dorongan dari Pemda,” katanya.

Meski ada tantangan yang harus dihadapi dalam produksi gula semut ini, dengan menghentikan penggunaan natrium bisulfit, karena dilarang. Solusi dari LPPSLH dalam pendampingan dengan menggunakan cangkang manggis. Selain itu kebersihan pongkor, yang selama ini menggunakan bekas oli. Karena itu, pongkor yang digunakan harus standar dari kontrol union Belanda.

“Yang lebih penting penguatan kelembagaan petani, jika kuat maka keberlangsungannya produk akan terus terjaga,” katanya.

Bupati Cilacap, Tatto Suwarto Pamuji mengatakan akan terus memberikan pendampingan kepada para petani kepala untuk beralih memproduksi gula semut. Pasalnya jika hanya memproduksi gula konvensional saja, maka tidak akan maju. “Harga dari gula semut ini jauh di atas gula biasa, jadi kalau petani hanya produksi gula konvensional, tidak akan maju,” katanya.

Pemkab, kata dia akan mendampingi, menganggarkan, serta memberikan bantuan peralatan untuk prosesing gula organik. Sehingga para petani ini ketika akan mengekspor tidak perlu ke Cilongok terlebih dahulu, tetapi langsung dari Cilacap. Setiap tahunnya pemkab menganggarkan biaya pendampingan mencapai Rp 100 juta. “Pemerintah akan serius sungguh-sungguh untuk ekspor gula semut ke mancanegara,” katanya.

Bupati juga berpesan kepada para petani gula semut ini untuk bertindak jujur agar dipercaya oleh para eksportir dari mancanegara. Pasalnya dalan jual beli yang diutamakan adalah kejujuran.

Wariman (44) Ketua Kelompok Karangsari Jaya dari Kecamatan Adipala mengatakan dulu saat memproduksi gula menggunakan sulfit, namun setelah ada pendampingan dilakukan secara organik. Dengan gula organik ini, kata dia haganya jauh diatas gula biasa, selisih Rp 4 ribu per kg.

Saat ini di kelompoknya ada sebanyak 40 orang, yang masing-masing bisa memproduksi gula semut mencapai 4-5 kg perhari. Sehingga dengan adanya launching ekspor ke Belanda ini, dia sebagai perajin gula semut bersam akelompoknya akan lebih semangat untuk memproduksi. “Insyaallah kami siap memenuhi kuota gula semut yang diminta pemerintah,” katanya.

Sumber: Satelit Post Edisi 11 November 2017

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Informasi Lainnya