Dalam rangka sertifikasi produk gula kelapa di Kabupaten Purbalingga, saya diajak untuk ikut dan membantu bersama kawan-kawan volunteer/relawan dari program pertanian yang sedang melakukan proses pendataan petani penderes di Purbalingga. Pada saat itu saya ikut melakukan pendataan petani penderes di desa Binangun dan desa Candinata. Dua desa tersebut merupakan daerah yang mata pencaharian masyarakatnya sebagian besar merupakan petani penderes. Suasana keramahan masyarakat desa masih sangat terasa di kedua desa tersebut, selain juga wilayahnya yang juga masih menarik seperti masih banyak sawah, dan terutama lahan perkebunan warga yang masih sangat luas tentunya.
Pada proses pendataan petani penderes, di dalam form yang disiapkan ada bagian tentang informasi lahan tanah yang digarap oleh petani penderes tersebut apakah lahan miliknya sendiri ataukah menyewa lahan milik orang lain. Ternyata setelah dilakukan pendataan yang dilakukan, dari sekian banyak yang didapatkan pada saat dilakukan pendataan di kedua desa tersebut yang saya ikuti, banyak lahan yang digarap oleh petani penderes bahwa pohon dan lahan tersebut bukan merupakan miliknya akan tetapi milik orang lain, mereka petani penderes menyewa pada yang punya tanah dengan sistem bagi hasil. Jadi dari sekian banyak penderes dan luasnya lahan tanah yang dideres itu, kebanyakan adalah tanah milik orang lain yang pohon kelapanya dipersilahkan diambil niranya oleh para petani penderes dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil ini dilakukan dengan cara para petani penderes tiap bulannya menyetor gula sejumlah satu kilogram per satu pohon kepada pemilik lahan kelapa yang dideres itu.
Bayangkan rata-rata satu orang penderes menderes sekitar 30-50 pohon kelapa, jika dengan sistem bagi hasil seperti itu maka bisa ditaksir petani penderes tersebut berarti menyetor sekitar 30-50kg gula kelapa kepada pemilik lahan. Padahal rata-rata per hari para penderes mendapatkan hasil gula rata-rata 5kg, dengan harga gula kisaran Rp. 7.000 – Rp. 9.000 maka pendapatan tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Dengan keadaan seperti diatas maka menjadi perhatian besar bagaimana caranya untuk meningkatkan mensejahterakan para petani penderes, karena jika melihat keadaan tersebut maka posisi para petani penderes mereka banyak tidak memiliki tanah, padahal tanah lahan yang dideres kelapanya itu merupakan bagian dari sumber produksinya sebagai modal dasar. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa para petani penderes hanya memiliki modal tenaga saja akan tetapi tidak memiliki alat produksi berupa tanah. Hal ini sepertinya perlu menjadi perhatian yang besar bagi koperasi nantinya, bahwa kesejahteraan para petani penderes perlu benar-benar diperhatikan karena tujuan dibentuknya koperasi untuk mewujudkan kesejahteraan anggotanya.
Mungkin kedepan ketika koperasi ini besar, koperasi perlu membeli lahan sendiri yang nantinya akan digarap sendiri oleh para petani penderes sebagai anggota koperasi dengan sistem kerja sama yang tidak memberatkan bagi petani penderes tersebut.