LPPSLH - Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup

Hanya Karena Perbedaan, Haruskah Mereka Dimakamkan Di Samping Rumah?

Hanya Karena Perbedaan, Haruskah Mereka Dimakamkan Di Samping Rumah?

Hanya Karena Perbedaan, Haruskah Mereka Dimakamkan Di Samping Rumah? – Pertanyaan seperti itulah yang muncul dibenak saya saat melihat kenyataan bahwa banyak penganut aliran kepercayaan yang tidak memperoleh akses fasilitas umum dengan maksimal selama masih hidup, bahkan hingga pada kematian. Jika di tanah Sunda, saya sering melihat anggota keluarga yang meninggal dan dimakamkan tak jauh dari rumah. Alasan mereka adalah hanya karena mereka tak ingin “jauh” dari keluarga, bahkan saat telah ditinggal pergi untuk selamanya. Alasan yang dramatis, dan saya pikir itu tak perlu diperdebatkan.

Hanya Karena Perbedaan, Haruskah Mereka Dimakamkan Di Samping Rumah?

Salah satu warga Sapto Darmo sedang mendoakan kerabatnya yang meninggal dan dimakamkan di samping rumah.

Namun berbeda jauh saat saya mendapati kenyataan bahwa warga di Jawa Tengah, khususnya Brebes yang pernah saya kunjungi. Di sana banyak warga yang menganut aliran kepercayaan Sapto Darmo, dan yang menjadi masalah adalah warga yang menganut aliran kepercayaan Sapto Darmo itu setelah meninggal, maka dimakamkan di lingkungan pekarangan rumah, bukan di tempat pemakaman umum.

Awalnya saya pikir itu wajar, mungkin alasannya tak beda jauh seperti masyarakat di Sunda, khususnya Garut mengingat saya cukup lama menghabiskan masa kecil disana. Tapi sayang, alasananya ternyata tak sedramatis yang saya pikir. Karena masyarakat penganut Sapto Darmo itu beralasan bahwa mereka tak mendapatkan akses ke tempat pemakaman umum. Tempat pemakaman umum yang berasal dari tanah wakaf itu diperuntukan bagi penganut Agama Islam saja. Selebihnya agama yang lain maka memiliki pemakaman khusus.

Miris. Ya, sangat disayangkan. Ternyata di negeri yang Bhineka ini masih saja ada diskriminasi terhadap kaum minoritas.

Rumah tinggal manusia hidup bersebelahan atau berdekatan dengan manusia yang sudah wafat. Tentu ini menjadi sangat tidak etis, baik dari segi psikologis dan kesehatan, hal semacam ini bukanlah hal yang bisa dibiarkan. Kita tentu tahu, tanah juga memiliki pori-pori, mirip sekali seperti kulit manusia. Apalagi dengan tanah pekuburan yang memiliki kelembaban lebih tinggi jika dibandingkan tanah biasa, karena tanah kuburan mengeluarkan gas atau cairan sisa bangkai dan pembusukan di dalamnya. Jadi jikapun daya hisap ke permukaan tanahnya belum cukup, maka jangan lupakan serangga atau hewan-hewan kecil yang mampu membawa itu ke permukaan. Apakah kita etis dan tega membiarkan saudara kita sesama manusia tinggal berdekatan atau sepekarangan dengan makam. Ingat, Indonesia terbentuk karena perbedaan, bukan keseragaman.

“Apa salahnya sih dimakamin di TPU, toh juga itu tanah wakaf, dan pastinya nggak ada aturan kalo hanya penganut agama mayoritas saja yang boleh dimakamkan disana.” Begitulah pikir saya.

Tapi, ternyata tak semudah itu. Polemik semacam ini ternyata sudah dialami oleh penganut aliran kepercayaan Sapto Darmo sejak lama. Maka tak heran jika mereka akhirnya mencoba “mengerti” dan memilih untuk memakamkan keluarga mereka yang wafat di sekitar rumah, bahkan ada yang kemudian tanah makamnya rata, ditanami pohon, atau untuk makam lagi. Mungkin sudah terbiasa, namun apakah hal semacam ini menjadi solusi?

Tidak!

Oleh karena itu, pada saat ini bersama dengan Program Peduli, LPPSLH berupaya mewujudkan keinginan penganut aliran Sapto Darmo, agar kelak siapapun warga yang meninggal dapat dimakamkan di tempat pemakaman umum.

 

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Informasi Lainnya