LPPSLH - Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup

Kelestarian Lingkungan Hidup dan Ketersediaan Pangan

Live in LPPSLH

“Live in” atau tinggal bersama masyarakat, adalah salah satu metode yang dipakai untuk lebih merekatkan pendamping dan masyarakat dampingan. Dengan tinggal bersama masyarakat dampingan dan menjalani beberapa hari kehidupan mereka kita, pendamping, menjadi bagian didalamnya. Pendamping akan lebih memahami dinamika kehidupan mereka dari sudut pandang yang lebih otentik.

Dokumentasi: Kegiatan Live in staf LPPSLH di salah satu desa dampingan

Dokumentasi: Kegiatan Live in staf LPPSLH di salah satu desa dampingan

Salah satu pengalaman “live in” yang menarik adalah pada saat mendampingi Desa Samudra Kulon di tahun 2010 dalam usaha membangun kesiapsiagaan dan kemampuan masyarakat mengurangi resiko bencana di desanya. Desa ini memiliki potensi bencana longsor yang tiap tahun terjadi, baik besar maupun kecil. Selain ancaman longsor, desa ini juga memiliki ancaman kelestarian lingkungan dari konversi lahan hutan dan tercemarnya sungai-sungai baik besar maupun kecil akibat limbah pabrik tapioka yang banyak terdapat di desa tersebut.
Kondisi pencemaran sungai dan lingkungan sekitar sungai akibat limbah tapioka sangat mudah ditemukan. Sungai-sungai kecil yang berwarna putih keruh dan bau asam menyengat di sekitar pabrik tapioka yang berjejelan dengan rumah warga. Saya ingin kali ini membuktikan bahwa pencemaran itu dampak nya bukan hanya pada bau tak sedap, tapi juga di sepanjang aliran sungai. Maka saya menyerobot masuk pembicaraan saat beberapa orang pemuda yang sering saya kunjungi berinisiatif untuk mengisi malam minggu mereka dengan bernostalgia, “ngobor. Ngobor adalah kegiatan mencari ikan, belut, kerang-kerangan dan sumber protein di sungai, yang dapat menjadi sumber protein hewani bagi kebutuhan masyarakat.
Aktivitas “ngobor” dilakukan malam hari, pada sore hari beberapa pemuda yang bersedia ikut kegiatan tersebut mulai berkumpul untuk memulai persiapan, sementara yang lain akan menyusul di pertemuan sungai tertentu. Lampu petromaks dan beberapa senter, menggantikan obor yang tidak lagi digunakan dalam kegiatan “ngobor”. Parang dan golok sudah dikumpulkan untuk membantu menangkap hewan yang sulit untuk ditangkap tangan secara langsung dan ember juga tak lupa dibawa untuk menampung hasil tangkapan.
Pukul 8.30 semua peserta “ngobor” bersama pendamping sudah berkumpul di dukuh Cikadu, dusun tertinggi di desa tersebut. Kami mulai turun ke sungai kecil di Cikadu dengan penerangan senter dan petromaks, sepanjang sungai kecil itu kami mengarahkan cahaya petromaks dan senter ke aliran sungai dan sepanjang tepian sungai. Kami mulai memunguti kerang, belut yang mulai dapat ditemukan di sepanjang aliran sungai. Sungai ini bermata air di perkebunan coklat yang berada di atas bukit, bersebelahan dengan desa Samudra Kulon. Tidak banyak yang bisa kami kumpulkan karena sungai yang masih dekat dengan mata air biasanya tidak berlumpur sehingga belut dan kerang tidak hidup di daerah seperti itu. Beberapa katak hijau kecil dan sedang yang berada di sepanjang pinggiran sungai tidak kami hiraukan, meski saya memperhatikan dan menunggu ada katak hijau yang lebih layak untuk ditangkap, cukup besar dan gemuk.
Kami berjalan semakin turun mengikuti aliran sungai, mulai melewati persawahan dan pertemuan dengan beberapa sungai kecil lain sehingga aliran sungai yang kami lewati cukup besar untuk kami ber enam turun ke aliran sungai. Kami melewati pemukiman penduduk yang berada sebagian di pinggiran sungai, sampah sampah rumah tangga mulai terlihat di dasar sungai yang berair dangkal. Perolehan kami sangat sedikit, hanya beberapa ekor belut berukuran sedang dan kijing (kerang) ukuran kecil.
Memasuki dusun berikutnya aliran sungai bertemu dengan aliran sungai kecil yang berwarna putih, dan kami bertemu dengan beberapa pemuda yang menyusul membawa senter lebih besar. Senter besar dibutuhkan untuk menembus air yang keruh dan berbau menyengat asam, itulah air sungai limbah pabrik tapioka tradisional. Kami mulai berjalan di air keruh dan terasa sedikit gatal di kaki saya.
Seluruh aliran sungai telah berubah putih dan membuat dasar sungai yang berbatu dan pasir menjadi terasa licin. Kami tidak berharap banyak berada di wilayah tersebut. Kami hanya berjalan di sepanjang aliran sungai dengan bercengkerama dan menyalakan rokok, sambil memperhatikan barangkali ada pecahan kaca dan botol yang kadang banyak tersebar di sungai sekitar pemukiman.
Menjelang akhir dari pemukiman dan mendekati daerah persawahan kami berharap dapat kembali memungut belut atau satwa apapun yang dapat menjadi makanan, karena di depan sekitar 500 meter kami akan bertemu dengan pertemuan sungai yang lebih besar. Saat ini musim penghujan, dan kami harapkan pertemuan dengan sungai yang tidak tercemar akan membuat aliran sungai menjadi lebih jernih dan tentu ada satwa air yang dapat kami tangkap. Kami ada di pertemuan sungai besar akhirnya, aliran jernih dari sungai di sebelah barat bertemu dengan aliran putih dari sebelah timur, membuat sungai menjadi tidak terlalu keruh. Kami berjalan lagi setelah beristirahat sejenak dan menghela nafas. Pada saat kami berjalan kembali mengikuti aliran sungai, kami tetap tak dapat menemukan satwa apapun, dasar sungai tetap licin juga air keruh dan samar-samar berbau asam tetap kami rasakan. Akhirnya kami memutuskan untuk naik ke persawahan, karena ember untuk menampung tangkapan tetap akan kosong jika kami berada di sungai.
Kami segera naik ke persawahan yang terdapat di sebelah kanan dan kiri kami. Target buruan juga saya sarankan berubah, katak hijau yang segera berlompatan saat kami lewat pematang ahirnya menjadi target buruan. Dua pemuda yang belum terbiasa dengan katak hijau sebagai makanan sepertinya tidak setuju. Saya akhirnya menjelaskan bahwa katak hijau bukan jenis katak yang mempunyai racun di kulitnya, katak hijau aman dimakan. Ini temuan menarik menurut saya karena sebenarnya aktivitas “ngobor” adalah salah satu cara mencari kebutuhan protein di masyarakat kita yang secara ekonomi tidak mampu untuk membeli bahan makanan protein hewani yang berharga mahal. “ngobor” adalah bentuk upaya subsisten masyarakat kita yang berekonomi rendah untuk mendapatkan protein yang murah dan melimpah, “ngobor” adalah manifestasi dari bentuk food gathering. Food gathering mungkin dilakukan dan cukup memenuhi kebutuhan konsumsi kita, jika lingkungan terjaga kelestariannya. Ini adalah praktek yang sudah dilakukan pada masyarakat prasejarah dan masyarakat kita sekarang, di jaman modern, sebagian kecil saja yang masih menjalaninya. Hal itu terjadi karena permasalahan lingkungan yang sudah tidak lestari dan karena tidak lagi membudaya.
Pada saat kami memutuskan untuk pulang, ember yang kami bawa sudah berisi belut berukuran sedang dan layak konsumsi yang banyak kami dapat dari sawah, katak hijau ukuran besar karena tidak lagi diburu dan dimanfaatkan dagingnya. Juga beberapa kerang kecil yang kami dapat dari sungai dekat hulu. Isi ember kami membuktikan bahwa sungai tidak lagi menjadi tempat hidup yang layak bagi sebagian besar spesies. Kondisi lingkungan sungai yang buruk, berisi banyak sampah rumah tangga dan limbah pabrik tapioka yang menghancurkan habitat ikan belut dan kerang.
Setelah pengalaman semalam bersama pemuda dan menyaksikan sendiri bahwa sungai mereka tidak lagi bersih dan bahkan ikan pun tidak lagi dapat hidup, mereka mulai sering mendiskusikan masalah kelestarian lingkungan desa mereka lebih menyeluruh. Ternyata desa mereka bukan hanya berhadapan dengan ancaman longsor, tetapi juga dengan ancaman cemaran limbah tapioka, yang mungkin juga dapat mencemari sumur dan sumber air yang dikonsumsi masyarakat.

Penulis: Budi Prabowo A. (Staf Program Kehutanan)

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Informasi Lainnya