LPPSLH - Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup

PETANI & KEDAULATAN PANGAN


Kedaulatan pangan merupakan suatu konsep yang relatif baru. Konsep ini mulai dikenal sejak tahun 1996 sebagai reaksi dari ancaman yang muncul dari WTO kepada negara-negara miskin dalam menyediakan makanan pokok dalam jumlah yang cukup pada penduduknya. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh sebuah organisasi petani internasional, La Via Campesina dalam Deklarasi Tlaxcala di Mexico tahun 1996. Kedaulatan pangan bukan hanya sekedar seperangkat hak, tetapi suatu kondisi ketika petani memiliki akses dan kontrol terhadap sumber-sumber agraria sehingga mereka mampu menentukan sendiri apa yang harus diproduksi, bagaimana cara memproduksi, mendistribusikan dan mengkonsumsinya dengan cara dan mekanisme yang memang paling tepat bagi mereka. Masalahnya, kini ruang untuk mengakses dan mengontrol sumber-sumber agraria tersebut semakin kecil. Kecilnya ruang tersebut membuat peluang petani untuk menentukan strategi ekonomi dan sosial yang tepat dengan kepentingan mereka juga semakin lemah dan terbatas.

Semakin kecilnya ruang kedaulatan tersebut lahir dari sebab-sebab yang kompleks dan luas dan seringkali terkait dengan proses kapitalisasi yang terjadi hingga ke pedesaan. Petani hanya mampu mendapatkan uang tunai untuk memenuhi kebutuhannya dengan menjual hasil produksinya. Dengan demikian, lama-lama petani didorong untuk hanya menjadi petani murni semurni-murninya (pure agriculturist). Proses komersialisasi (ketika hasil pertanian diubah untuk diperjualbelikan) hasil pertanian telah menjadi momen yang memberikan implikasi besar terhadap sebab-sebab ketidakdaulatan pangan. Salah satunya adalah suatu keadaan yang telah menyebabkan petani didorong untuk memproduksi komoditi-komoditi yang lebih diperuntukkan bagi warga masyarakat di luar dirinya sendiri dan komunitas sekitarnya (cash crop).

Proses komersialisasi hasil pertanian mendorong kaum lelaki menanam tanaman komersial yang diperdagangkan (cash crop), sementara itu kaum perempuan memikul beban untuk menyelenggarakan kebutuhan konsumsi keluarga dengan senantiasa disertai peningkatan waktu kerja untuk mengerjakan pertanian subsisten. Tuntutan tersebut seringkali membuat perempuan tidak dapat memproduksi tanaman yang laku di pasaran, dan kebijakan yang sering bias dari pemerintah dan intensif yang hanya mendukung petani laki-laki (dan produksi tanaman komersial yang laku di pasaran) telah menyebabkan semakin besarnya diskrimasi dan beban bagi wanita (Staudt, 1982; Lewis, 1984 dalam Moore, 1998: 136).

Bahwa petani ingin memproduksi pangan tidak hanya untuk dimakan tapi juga dijual ke pasar merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan di dalam kehidupan yang sudah sangat membutuhkan uang kontan. Tetapi untuk kepentingan tersebut petani kemudian terinkorporasi—secara paksa maupun terpaksa—ke dalam sistem-sistem ekonomi yang bukan hanya menyebabkan mereka kehilangan kedaulatannya atas produksi, distribusi dan konsumsi pangan. Hal itu juga menyebabkan terjadinya ketimpangan relasi gender antara lelaki dan perempuan merupakan situasi yang tidak dapat dibenarkan. Hal ini disebabkan hasil akhir dari proses ini telah menyebabkan distribusi keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pelaku pasar dan konsumen akhir. Sedangkan apa yang dialami masyarakat petani produsen terutama petani-petani berlahan sempit dan tidak berlahan adalah minimnya keuntungan, dan lebih besar kerugian, ketergantungan, dan kemiskinan.

Program revolusi hijau yang diterapkan oleh pemerintah orde baru secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya sehingga memiskinkan mereka. Di Jawa misalnya, benih varietas unggul (hibrida) yang diperkenalkan program revolusi hijau memaksa petani tidak lagi dapat menggunakan ani-ani untuk memanen karena padi tersebut tumbuh lebih rendah daripada padi lokal. Padahal, alat tersebut melekat dan digunakan oleh kaum perempuan. Akibatnya kaum perempuan miskin di desa termarginalisasi, yakni semakin miskin dan tersingkir karena tidak mendapatkan pekerjaan di sawah pada musim panen. Berarti program revolusi hijau dirancang tanpa mempertimbangkan aspek gender (Fakih, 1997: 14-15)

Diskriminasi terhadap perempuan yang lahir dari proses kapitalisasi tersebut sebenarnya telah menjadi perhatian khusus dari organisasi petani dan LSM yang mendeklarasikan konsep kedaulatan pangan pada World Forum on Food Sovereignity di Havana, Kuba, tanggal 7 September 2001. Dalam konteks pertanian, kedudukan perempuan sebenarnya sangat dominan. Dominannya keterlibatan perempuan dalam pertanian terlihat sejak proses produksi hingga pemanenan. Namun peran atau keterlibatan perempuan petani dalam pertanian lama kelamaan menjadi berkurang atau hilang karena terjadi perubahan model produksi pertanian yang pada akhirnya menyingkirkan perempuan dari proses pertanian (Mahanani, 2003)..


keterlibatan perempuan dalam ketahanan pangan salah satunya dilakukan dengan pemanfaatan lahan pekarangan. Lahan pekarangan dimanfaatkan kaum perempuan untuk ditanami berbagai macam tanaman pangan. Dengan demikian, mereka dapat mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan sehari hari. Salah satunya adalah dengan menanami pekarangan dengan tanaman palawija.

Tanaman palawija di Indonesia sangat beraneka ragam. Bahkan jumlahnya sangat banyak. Sebagai negara tropis, Indonesia merupakan tempat yang sempurna untuk tumbuh berbagai jenis tanaman.

Pengertian dari tanaman palawija adalah tanaman lain yang ditanam untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk selain tanaman pangan.  Sering disebut juga sebagai tanaman secondary atau tanaman kedua.

Palawija sendiri menjadi pilihan bagi banyak petani untuk ditanam pada lahan persawahan atau di ladang. Dengan menanam palawija, maka masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik. Artikel mengenai tanaman palawija lebih dalam dapat dilihat di artikel berikut ini : tanaman palawija

1 Komentar

yuliana · Desember 29, 2012 pada 2:31 am

Hmmm…sebuah fakta yang tidak perlu disangkal lagi.
Yang lebih ngeri lagi sebenarnya, ketika pertanian subsisten sudah semakin sulit dilakukan…apalagi bicara kedaulatan? Kondisi pangan negeri kita sudah didikte oleh negara lain, kira-kira harus bongkar mulai dari mana ya…? Level kebijakan atau pengorganisasian petani?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Informasi Lainnya