Posisi Pecandu dalam Kasus Pidana Narkotika & Psikotropika

drug-abuse

Perkembangan baru dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, telah menempatkan posisi para pemakai atau sering dikenal sebagai pecandu NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya) sebagai pihak korban dari suatu tindak pidana kejahatan di bidang NAPZA. Pola pikir ini berangkat dari suatu pemahaman pada dasarnya posisi pecandu karena sesungguhnya negara melalui peraturan hukumnya telah mengatur dan mengupayakan adanya vonis rehabilitasi dalam peraturan perundang-undangannya. Hal ini masih ditambah lagi pemahaman, bahwa pada dasarnya, pengguna narkoba memiliki penyakit yang disebut dengan adiksi, yakni ketergantungan pada narkoba. Untuk itu, dalam perkara dimana tersangka atau terdakwa seorang pecandu/pemakai maka vonis rehabilitasi lebih diutamakan dibandingkan vonis penjara. Hal ini disebabkan pada dasarnya penjara bukanlah suatu tempat yang tepat bagi para pecandu/pemakai. Pemenjaraan yang bersifat mengurung, mengungkung dan menjauhkan para pecandu dari asimilasi kehidupan sosial malah lebih menjatuhkan mental mereka sebagai “kriminal” yang pada akhirnya, kemungkinan besar, dalam kehidupan penjara itulah para pecandu akan menjadi lebih parah.drug-abuse

Namun demikian, pemahaman serta isu diatas tampaknya harus berbenturan dengan sistem hukum pidana yang bersifat mengatur dan pemahaman para pelaksana penegak hukum di negeri ini yang berdasarkan prinsip penegakan hukum dan keadilan. Atas dasar pandangan bahwa Indonesia adalah negara hukum, maka negara wajib mengembalikan keseimbangan hukum atas pelanggaran hukum yang ada dengan menindak tegas bagi pelanggarnya guna menegakkan keadilan. Artinya, hukuman merupakan suatu hal yang mutlak bagi pelanggar hukum guna mencegah, mempertakutkan, mempertahankan tata tertib kehidupan bersama. Dan ternyata, sebagian besar para penegak hukum di negara kita menganggap pecandu/pemakai merupakan tindak pelanggaran hukum.
Majelis Hakim pemeriksa suatu perkara pidana berhubungan dengan NAPZA, dalam konteks tugasnya, tampaknya tidak mengenal ataupun mengesampingkan pemahaman bahwa “pengguna NAPZA termasuk pecandu adalah korban”. Majelis Hakim lebih memposisikan diri dalam “Formalistis Legal Thinking” sehingga sulit memahami issue yang dikembangkan dan pemahaman dari kelompok mereka yang berempati pada masalah tindak pidana yang berhubungan dengan NAPZA memposisikan 2 subyek hukum berbeda yakni antara “pelanggar” dan “korban”.
Bahwa berangkat dari hal tersebut diatas, karena dalam hukum pidana pada hakekatnya adalah mencari kebenaran materiel maka putusan hakim pun kelak didasarkan pada hukum materiel. Inilah masalahnya, bagaimana mungkin menghukum pelanggar hukum yang sebenarnya adalah korban dari kejahatan itu sendiri ? Bagaimana caranya meng-“giring” agar hakim dapat menjatuhkan putusan rehabilitasi bagi pengguna Napza ?
Pada prinsipnya pengambilan keputusan oleh majelis hakim pada suatu perkara pidana harus didasarkan pada prinsip-prinsip seperti :

Menghukum yang bersalah membebaskan yang tidak bersalah,
Kebebasan hakim Mengadili secara kasuistik, dalam menjatuhkan putusan hakim harus disertai keyakinan.
Dari beberapa prinsip-prinsip di atas, keyakinan hakim merupakan prinsip yang paling dominan, bahkan dapat dikatakan, merupakan kekuasaan absolut yang diberikan oleh perundang-undangan kepada hakim itu sendiri. Hal ini sebagaimana didukung Pasal 6 ayat 2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN yang menyatakan, “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapatkan keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.

Berdasarkan prinsip mengadili secara kasuistik, jika terdakwa pecandu NAPZA menghendaki putusan dalam bentuk rehabilitasi maka sekurang-kurangnya dengan 2 (dua) alat bukti ia harus membuktikan dan meyakinkan majelis hakim bahwasanya memang patut diberikan putusan rehabilitasi (Pasal 183 KUHAP). Bagi pecandu NAPZA yang sedang dalam atau telah menjalani perawatan dan pengobatan namun mengulangi perbuatannya tersebut tentunya tidak terlalu bermasalah. Dengan bukti bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah maka keyakinan hakim akan timbul bahwasanya memang si pecandu tersebut patut divonis (hukuman) masuk ke panti rehabilitasi.

Lalu, bagaimana bagi pecandu NAPZA yang memperoleh NAPZA tersebut secara tidak sah dan juga karena ketidakmengertiannya tentang aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan hal ini?
Tidak adanya pedoman pemidanaan dalam UU Narkotika maupun Psikotropika, mau tidak mau, pada saat persidangan pun Jaksa Penuntut Umum (JPU) selalu memposisikan pecandu sama dengan terdakwa kurir dan/atau penjual dan/atau bandar. Padahal dalam hitungan perkara, pecandu dan pengedar sangat jauh perbedaannya. Pecandu lebih mengkonsumsikan NAPZA untuk dirinya sendiri sedangkan pengedar tentunya ada motif ekonomis mengapa dia menjadi pengedar. Pada dasarnya, apabila kemudian Majelis Hakim melakukan pemeriksaan dalam perkara seperti ini, maka sudah seharusnya memahami perbedaan tersebut akan dua sisi antara “pecandu sebagai korban” atau “pengedar yang memiliki motif ekonomis”. Dari hal ini, kemudian yang menjadi focus utama menentukan terdakwa harus dijatuhi hukum penjara atau pilihan rehabilitasi, maka dapat dilihat dari penilaian motif ekonomis rangkaian fakta-fakta hukum yang ada yang dibebankan pada terdakwa pecandu NAPZA tersebut. Jika tidak ada motif ekonomis maka sudah seharusnya vonis yang dijatuhkan adalah vonis rehabilitasi bukan vonis penjara.

Penulis: Rachman Arif Gunawan (Koordinator SSR LPPSLH Kab Banyumas/Staf Program Perkotaan LPPSLH)