Bentuk Perjuangan Penghayat Kepercayaan Di Indonesia

IMG_20171120_130238

Bentuk Perjuangan Penghayat Kepercayaan Di Indonesia– Berbicara mengenai penghayat kepercayaan dan juga Sapta Darma, ada beberapa penelitian telah dilakukan dalam mencari dan menelaah tentang bagaimana bentuk perjuangan yang telah dilakukan oleh penganut aliran kepercayaan Sapta Darma, namun pembahasannya hanya menjadi bagian dari salah satu penelitian atau hanya berupa jurnal.

Untuk mewujudkan Inklusi Sosial, Program Peduli meyakini bahwa warga penganut aliran kepercayaan atau penghayat Sapta Darma di Brebes adalah warna minoritas. Hal tersebut dapat dilihat dari tulisan yang dipublikasikan oleh CRCS Universitas Gadjah Mada bahwa dalam aturan perundang-undangan, para penghayat kepercayaan atau penduduk yang agamanya “belum diakui” diminta untuk tidak mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), “tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”.

Namun pada kenyataannya di lapangan, para penghayat kepercayaan yang mengosongkan kolom agama di KTP tidak mendapatkan pelayanan yang setara sebagaimana warga negara pada umumnya, bahkan mengalami diskriminasi. Kenyataan itu mendorong sejumlah pemohon mengajukan pengujian undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon yang tergabung juga dalam Program Peduli yang berasal dari kepercayaan Marapu (Sumba Timur), Parmalim (Sumatera Utara), Ugamo Bangsa Batak (Sumatera Utara), dan Sapta Darma (Jawa) memohon judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) jo. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Adminduk 2006.

Beberapa dari perlakuan diskriminatif yang menimpa para pemohon berupa ketidaksetaraan dalam akses terhadap pekerjaan, akses terhadap hak atas jaminan sosial, dan tidak diakuinya perkawinan adat mereka yang berimbas pada akta kelahiran anak dan pendidikannya. Dalam beberapa kasus juga ditemukan stigma-stigma negatif dalam kehidupan sosial mereka. Dalam kasus lain ditemukan ada yang terpaksa mengisi kolom agama dengan agama yang bukan kepercayaannya agar administrasi pembuatan KTP “lebih mudah”.

Dalam rangkaian judicial review di MK itu, salah satu dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Dr. Samsul Maarif, hadir sebagai salah satu saksi ahli pada Rabu 3 Mei 2017. Alumnus dan kini pengajar di CRCS ini meraih gelar Ph.D. dari Arizona State University pada 2012 dengan disertasi tentang praktik keagamaan masyarakat Ammatoa di Sulawesi Selatan. Di hadapan 9 hakim konstitusi, Samsul menguraikan hubungan negara, agama, dan kepercayaan yang tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah politik Indonesia. “Sejarah relasi negara, agama, dan kepercayaan senantiasa berada dalam konteks politik rekognisi,” demikian ujarnya sebagaimana terkutip dalam risalah sidang MK.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Post comment