[av_dropcap2 color=”default” custom_bg=”#444444″]I[/av_dropcap2]deologi merupakan hasil internalisasi nilai-nilai serta prinsip yang dianggap baik untuk diyakini dalam hidup seseorang. Perjalanan panjang pun harus dilalui oleh seseorang yang mengaku dirinya memiliki ideologi, cepat atau lambatnya proses meyakini nilai-nilai tersebut sangat tergantung pada metode internalisasinya. Ada metode internalisasi yang lebih banyak menggunakan teori dengan doktrin-doktrin nilai berbalut diskusi, ada pula metode internalisasi dengan cara praksis yaitu menyelaraskan pengalaman lapang di lembaga swadaya masyarakat dengan nilai-nilai yang pernah diajarkan secara teoritik.

Tidak sedikit sebuah organisasi yang memiliki anggota dengan latar belakang ideologi yang berbeda. Para anggota tersebut bukanlah sebuah gelas kosong, mereka telah memiliki kapasitas sebelum bergabung dalam organisasi yang baru, mereka tidak netral ideologi. Salah satu contoh konkrit yang ingin saya ketengahkan disini, adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengusung visi tentang pemberdayaan. Individu – individu yang terlibat dalam aktivitas LSM sangat beragam latar belakang visi maupun ideologinya. Karena LSM merupakan ruang terbuka bagi para aktivis untuk menggalang visi dan kepentingan, bukan berarti seluruh pegiatnya memahami arah visi dan kepentingan yang dirumuskan oleh pendahulunya. Dengan kata lain, keberpihakan dan komitmen para pegiat LSM sesungguhnya tidak mudah diukur hanya dengan selembar kontrak kerja.
Dalam kurun tiga tahun terakhir, posisi LSM tidak sama dengan dua dekade silam, dimana sumberdaya finansial organisasi nyaris mendapat pasokan penuh dari lembaga donor luar negeri. Tidak banyak LSM lokal yang bertahan karena mundurnya lembaga donor dari eksploitasi isu kemiskinan di Negara dunia ketiga, khususnya Indonesia. Lantas berbagai exit strategy pun di ciptakan oleh LSM lokal untuk mempertahankan eksistensinya di belantara isu sosial. Beberapa LSM yang terlahir dari keberadaan lembaga donor memilih gulung tikar, karena tidak mampu menutup beban operasionalnya. Sementara LSM yang berbadan hukum yayasan terus menciptakan peluang bisnis untuk pembiayaan kerja sosialnya. Yang paling populer adalah dengan membangun bisnis komoditas maupun jasa.
Kini LSM bukan lagi organisasi yang mewadahi para aktivis dengan idealisme ansih, akan tetapi merupakan sebuah ruang bergiat yang kompleks, terdiri dari ragam visi, kepentingan dan keberpihakan. Ketika lingkungan eksternal LSM melahirkan dinamika baru dengan semakin tipisnya pasokan sumberdaya, realistiskah LSM bertahan tanpa exit strategy yang komprehensif, terlebih dengan model manajemen yang spontan?
Penulis: Yuliana Desi P. (Manajer Program PUKM LPPSLH)







