Sumber daya air merupakan salah satu sumber penghidupan yang sangat penting bagi kehidupan. Air adalah sumber kehidupan, tak ada air maka tak ada kehidupan, seperti itu kiranya secara singkat memahami begitu pentingnya akan air. Kebutuhan akan air meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan. Dengan pentingnya sumber daya air bagi kehidupan, maka penting juga dalam hal pengelolaan terhadap sumber daya air tersebut.
Air sebagai barang yang penting bagi publik, oleh karenanya air memiliki fungsi sosial. Dimana penggunaaan air diutamakan terlebih dahulu untuk kepentingan masyarakat bukan hanya kepentingan individu. Namun di sisi lain seiring dengan perkembangannya air menjadi barang yang memiliki fungsi ekonomi, dimana air menjadi barang yang dapat menguntungkan secara ekonomi. Kedua fungsi tersebut tentunya berbeda dan saling bertentangan dalam kondisi ketika sumber air itu berkurang.
Munculnya air sebagai barang ekonomi tidak terlepas dari pengaruh resep ekonomi neoliberal yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan Inggris. Resep-resep ekonomi neoliberal yang yang dibawa bertumpu pada kebijakan privatisasi, deregulasi dan liberalisasi yang mulai dijalankan di beberapa negara. Resep tersebut dijalankan atas keyakinan bahwa intervensi negara yang berlebihan dalam pembangunan adalah sebuah kesalahan. Intervensi negara telah menyebabkan pasar tidak bisa bekerja dengan baik.
Hak masyarakat terkait akses terhadap air bersih kemudian dihambat seiring dilepaskannya pengelolaan sumber daya air oleh negara kepada pihak swasta. Lahirnya kebijakan ini tak lepas dari munculnya perubahan paradigma terhadap air yang digagas oleh pihak barat dalam rangka mengusai sumber-sumber air di negara-negara dunia ketiga. Dalam konferensi air dan lingkungan internasional yang diselenggarakan tahun 1992 di Dublin Irlandia, dicetuskan The Dublin Statement on Water and Sustainable Development (yang lebih dikenal dengan Dublin Principles) dimana Indonesia juga turut meratifikasinya. Salah satu dari prinsip dalam Dublin Principles itu adalah “water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic good”. Prinsip ini telah mengubah paradigma terhadap air yang sebelumnya dianggap sebagai barang sosial menjadi barang ekonomi. Paradigma yang salah ini menjelma menjadi serangkaian kebijakan dan program kerja yang sangat kapitalistik berupa privatisasi air, seiring dengan adanya tekanan dari Bank Dunia, sebagai konsekuensi atas tindakan pemerintah Indonesia yang mengandalkan sumber dana bagi pembangunan sumber daya air pada lembaga keuangan internasional. Akibatnya pengelolaan air bersih di negeri ini yang seharusnya dikuasai oleh negara diserahkan kepada pihak swasta untuk tujuan komersial.
Reformasi sumberdaya air didasarkan atas pemahaman bahwa kebijakan sumberdaya air di Indonesia sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. UU No.11 tahun 1974 tentang Pengairan harus diganti dengan UU baru yang sesuai dengan prinsip-prinsip Dublin, terutama cara pandang air sebagai barang ekonomi.
Di Indonesia sendiri telah terjadi proses privatisasi dalam pengelolaan air bersih. Pengelolaan air bersih oleh swasta tidak hanya terjadi di permukiman yang dibangun oleh pengembang swasta, namun juga telah mengarah ke pengelolaan air bersih di kota besar. Privatisasi di Indonesia semakin berkembang sejak disahkannya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pasal 9 UU SDA menyebutkan (i) hak guna air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau Pemda sesuai dengan kewenangannya; (ii) pemegang hak guna usaha air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan; (iii) persetujuan tersebut dapat berupa ganti rugi atau kompensasi.
UU SDA tak hanya memberi peluang bagi hadirnya privatisasi sektor penyediaan air minum dan penguasaan sumber-sumber air (baik air tanah, air permukaan, maupun air sungai) secara komersial oleh badan usaha dan individu, namun juga penguasaan asing, seperti penyertaan modal Suez Lyonnaise Des Eux (Prancis) dan Thames Water (Inggris) pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sejak tahun 1998, atas sumber daya strategis ini yang seharusnya berada di bawah pengelolaan negara. Dampak turunannya, kini kian banyak pemerintah daerah (baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota) yang berlomba menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) terkait privatisasi dan komersialisasi air. Akibatnya, hak rakyat atas air terancam dengan praktik privatisasi dan komersialisasi air yang kini berlangsung kian masif.
Dampak penerapan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Indonesia telah memiliki peraturan (kebijakan) mengenai pengelolaan sumber daya air, termasuk didalamnya mengenai mata air. Mata air merupakan bagian dari sumber air permukaan lainnya, sesuai penjelasan Pasal 35 huruf a.
Berdasarkan paradigma pengelolaan sumberdaya air yang dijelaskan di atas, maka ada kesalahan mendasar dari UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air terhadap UU Dasar 1945, yaitu air dipandang sebagai barang ekonomi dengan diperkenalkannya hak guna air yang terdiri atas hak guna pakai dan hak guna usaha dan penyelenggaraan oleh swasta (privatisasi).
Apabila dikaitkan dengan peraturan perundangan di Indonesia, maka secara jelas dinyatakan bahwa air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mencermati rumusan pasal 33 ayat (2) dengan menggunakan perspektif berbasis hak maka penguasaan hak atas air berada di tangan negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan kata lain negara lah yang memiliki kewenangan terhadap hak atas air dan kemudian merencanakan bagaimana pemenuhan hak atas air sebagai sebagai kewajiban negara terhadap warga negaranya. Batasan dari pengelolaan oleh negara terhadap hak atas air ini adalah adanya larangan untuk menyerahkan pengelolaan air tersebut ke dalam tangan orang-perseorangan.
Maka prinsip pertama pendekatan berbasis hak atas air di Indonesia adalah penguasaan oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada orang perseorangan. Selain dari aspek sejarah hukum yang berbeda, pemberian hak guna dalam pengelolaan sumberdaya air secara nyata akan menghilangkan penguasaan negara (negara mengadakan fungsi kebijakan dan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat) terhadap sumberdaya air. Memang makna dikuasai oleh negara tidak hanya sekedar kepemilikan tetapi lebih jauh dari itu dimana negara juga harus mengatur. Dengan hak guna air negara akan kehilangan bukan hanya kepemilikan tetapi juga fungsi pengaturan, karena ketika hak guna tersebut diberikan kepada orang perorang atau badan usaha swasta maka pengelolaan sumberdaya air menjadi milik pemegang hak guna.
Sebagai sebuah layanan publik yang sangat mendasar, penyediaan air bagi masyarakat seharusnya menjadi tanggung jawab negara sehingga harus dikuasai oleh negara, sesuai Pasal 33 UUD 1945. Jika penyediaan sumberdaya air diserahkan kepada swasta (privatisasi), terutama bersumber dari mata air, maka penguasaan negara terhadap air untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat akan hilang. Karena air adalah barang publik yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, maka negara harus bertanggung jawab dan berani mengambil alih pengelolaan air, menjauhkan konsep privatisasi air, memprioritaskan konservasi air dengan pemulihan kawasan hutan dan kawasan lindung.
Undang-undang Sumber Daya Air (SDA) terbukti mengabaikan kepentingan rakyat banyak, karena memicu konflik berkesinambungan, yaitu antara kepentingan pasar dengan kelestarian ekologi, antara budaya privatisasi dengan budaya kebersamaan, yang pada dasarnya negara tidak berpihak kepada rakyat atas kebutuhan akan air. Perumusan UU adalah hak kedaulatan negara, hak kedaulatan rakyat, tidak boleh tunduk pada intervensi dan agenda serta kepentingan swasta atau pihak asing.
* Artikel ini ditulis dalam rangka memperingati Hari Air Sedunia yang jatuh pada 22 Maret 2014 lalu







