
Diskusi rutin tingkat kelembagaan, sebagai salah satu sarana bagi staf LPPSLH membahas berbagai fenomena dan persoalan yang ditemukan di lapangan
Belakangan ini saya sering terlibat dalam diskusi tentang perekonomian rakyat, baik di kalangan pegiat LSM maupun dengan pemerintah. Anehnya, meski judul dari seminar dan kajian kritis menggunakan kalimat positif, namun hasil dari diskusi tersebut justru menjelaskan betapa tidak adilnya perekonomian rakyat di negara kita, Indonesia. Sebenarnya dimana sih, letak persoalannya? Mengapa dari hari ke hari perekonomian rakyat semakin terpuruk? Ini tanggung jawab siapa?
Saya memang bukan pengamat ekonomi, apalagi ekonomi rakyat. Dari seluruh ruang belajar yang tersedia, saya hanyalah bagian terkecil bernama galau. Galau yang saya rasakan lebih mirip bingung atau resah. Bingung atas ketidakadilan yang terpelihara dan resah dengan ketidakpastian nasib bangsa. Tiga tahun terakhir kerjaan saya hanya wira-wiri di Desa Pruwatan Kabupaten Brebes dan Desa Tlogotuwung serta Blumbangrejo Kabupaten Blora. Tidak banyak waktu untuk bertukar pengalaman dengan kelompok perempuan di tiga desa tersebut, namun interaksi yang hanya sekelumit telah mampu membuka wacana baru. Tentang kemiskinan, tentang kebijakan dan juga kelestarian alam.
Bulan lalu di Hotel Dana Surakarta, tepatnya tanggal 10 – 12 April 2013 Koordinasi Mitra Praja Utama (MPU) telah membawa saya pada perbincangan hangat seputar perekonomian rakyat bersama 50 peserta dari 10 Provinsi di Indonesia. Selain ajang pamer produk unggulan dari masing-masing provinsi, forum koordinasi tersebut juga di rancang untuk menggelar seminar di hari pertama. Tema seminar dalam Koordinasi MPU adalah “Membangun Perekonomian Rakyat yang Adil bagi Rakyat”. Pembicara yang turut memperkaya khasanah ilmu para peserta dari 10 provinsi adalah Adriani Soemantri seorang aktivis gender dari Jakarta, serta Awan Santosa dari Universitas Gajah Mada Jogjakarta.
Bulu kuduk saya mulai merinding, mencoba mencerna berbagai informasi yang disampaikan oleh kedua narasumber. Jika realitas perekonomian rakyat di negara kita seperti yang dituturkan melalui slide atau makalah kedua narasumber, saya ingin mati saja. Rasa putus asa yang mendalam semakin mengikis kepercayaan diri saya dalam mengorganisir kelompok di pedesaan. Kalau negara dengan segenap kebijakannya tidak pernah berniat melindungi perekonomian rakyat, untuk apa saya berada di sana, di desa miskin Brebes dan Blora? Penanaman Modal Asing (PMA) tidak ada bedanya dengan merampok sumberdaya alam, menjamurnya pasar modern, kebijakan impor pangan yang jor-joran, terbukanya media promosi bagi produk luar negeri, budaya konsumtif, membuat bangsa ini semakin limbung menghadapi pasar global.

Bagaimana nasib para pelaku usaha kecil dan mikro dekade mendatang? Masih adakah Perempuan Usaha Kecil (PUK) yang menjajakan produk olahan pangan mereka di los pasar tradisional? Adakah kebijakan yang berpihak pada mereka?
Bagaimana nasib para pelaku usaha kecil dan mikro dekade mendatang? Masih adakah Perempuan Usaha Kecil (PUK) yang menjajakan produk olahan pangan mereka di los pasar tradisional? Adakah kebijakan yang berpihak pada mereka? Skim kredit yang ramah, peluang pasar yang adil, jaminan atas keberlanjutan usaha? Hari ketiga dalam Koordinasi MPU di isi dengan diskusi terfokus, menghadirkan narasumber dari Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) Wilayah Jawa dan lembaga keuangan (perbankan). ”Meraih Peluang Pengembangan Usaha PUK Melalui Perbankan dan Dana CSR” menjadi tema diskusi pada siang itu, 12 April 2013. Materi yang disampaikan oleh kedua narasumber sungguh mencolok perbedaannya. ASPPUK bicara tentang ideologi gerakan ekonomi kerakyatan, sementara CSR dari perbankan bicara tentang akumulasi keuntungan.
Diskusi semakin hangat ketika peserta mulai mengajukan pertanyaan, menyampaikan kritikan dan berbagi kegelisahan. Seorang peserta dari Tlogotuwung menanyakan secara gamblang, ”Adakah pinjaman bagi Perempuan Usaha Kecil di daerah yang lokasinya terpencil seperti desa kami? Di desa kami sudah ada Lembaga Keuangan Perempuan (LKP), bisa kah LKP bekerjasama dengan bank?”. Sang narasumber malah bertanya kepada penanya, ”LKP itu apa?”. Seorang peserta dari Banjarnegara menjelaskan bagaimana LKP itu terbentuk dan seperti apa kegiatannya. Kemudian narasumber dari perbankan pun manggut-manggut dan kembali bertanya, ”Ada badan hukumnya tidak?”. Tamat sudah harapan peserta untuk meraih peluang kerjasama dengan perbankan ketika jawaban narasumber mengacu pada syarat dan prosedur. ”Pertama, pelayanan kami tidak menjangkau hingga pedesaan. Kedua, syarat untuk menjalin kerjasama dengan lembaga yang belum berbadan hukum. Ketiga, pengajuan kerjasama bisa dilakukan oleh individu dengan syarat dan prosedur tertentu. Antara lain: ada jaminan, janda tidak dapat mengakses, ada ijin suami”.
Ekonomi kerakyatan menjadi wacana penting yang harus terus dihayati dan dilakukan sebagai tandingan atas perekonomian yang tidak adil. Menjamin keberlangsungan usaha dan menjamin keberlangsungan alam sebagai penyedia bahan baku bagi pelaku usaha merupakan pilar penting kaitannya dengan keberlangsungan hidup seluruh umat penghuni negeri. Lembaga Keuangan Perempuan merupakan ruang belajar bagi masyarakat untuk memperkuat gerakan ekonomi rakyat yang siap dalam menghadapi pasar global. Ketidakadilan terjadi dimana-mana, tapi masyarakat butuh penyikapan yang kongkrit. Seminar hanya menambah wawasan, tetapi gerakan harus dilakukan sekarang, meski kecil.
Penulis: Yuliana Desi P. (Manajer Program PUK-M)







