LPPSLH - Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup

Hakikat Beriman Sebagai Seorang Penghayat Kepercayaan

Apapun yang tercipta oleh Tuhan di dunia ini akan menjadi makanan manusia, baik makanan jasmani maupun makanan rohani. Benda-benda alam yang tak enak dimakan secara langsung oleh mulut akan dikuasai, diatur menjadi benda-benda pemuas rohani; sementara benda-benda yang enak langsung dimakan, untuk memenuhi kepuasan jasmani. Oleh karena itulah alam batin dan alam raga manusia juga wujud jagad alit (mikrokosmos). Apa yang ada di dunia bisa masuk ke alam jiwa manusia.

Sari-sari makanan akan membentuk jiwa jasmani (sapta pretala/bumi sap pitu)- bulu, kulit, darah, daging, otot, balung (tulang) dan susum. Sedangkan sari-sari dan inti makanan akan menyatu menjadi sel sperma bagi laki-laki dan ovum bagi perempuan. Kedua zat ini mengandung sari-sari kekuatan alam semesta, mengandung kekuatan Tuhan.. Pertemuan kedua inti kekuatan yang berlainan jenis, dari unsure rwa bhineda ini, menjadikan bebakalaning urip (cikal bakaling urip); namun tak lepas dari peran Kang Maha Urip (Sang Maha Hidup).

Sebaliknya sisa-sisa dari unsur makanan yang masuk, akan dibuang dalam tujuh wujud: keringat melalui kulit – eluh melalui mata – ingus melalui hidung – kopok/curek melalui telinga – dahak/liur melalui mulut – kencing melalui kemaluan – air besar melalui anus. Sedangkan sari – sari penglihatan dan apa yang dikuasai oleh alam rohani akan mengembangkan mental spiritual, yang ahirnya mengalirkan sebuah budaya serta pencitraan. Namun, semua kehendak untuk menguasai alam yang tidak tercapai dan salah sasaran, akan terlahir menjadi emosi – kesedihan – kegelapan dan frustasi.

Oleh karena itu, upacara di Jawa umumnya tidak pernah meninggalkan cok bakal  yang pada dasarnya merupakan miniaturnya jagad kang gumelar. Sehingga, apabila dalam suatu persembahan/upacara itu ada kekurangannya, Cok bakal ini sudah mewakili kekurangan itu. Dan tujuan upacara persembahan, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mendapatkan kerahayuan serta keharmonisan Bhuana Ageng dan Bhuana Alit.

Namun perlu disadari bahwa semua itu adalah budaya dan simbol, lain daerah, lain pula budayanya.

Oleh: KRAT. Sutrimo RB, SE., MM

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Informasi Lainnya