LPPSLH - Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup

Krisis Rasa Percaya dan Tanggung Jawab untuk Anak dari Orang Tua

Hari Anak International

(Artikel dalam rangka memperingati Hari Anak-Anak Indonesia, 1 Juli 2014)

Tidak banyak yang hapal bahwa tanggal 1 Juli merupakan Perayaan Hari Anak Indonesia. Saya sendiri kurang mengerti apa bedanya dengan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli, tapi tetap saja harusnya menjadi hari peringatan penting untuk anak-anak Indonesia. Walaupun tanggal ini realitasnya hanya sering dipakai untuk judul acara – acara anak seperti mewarnai dan menggambar yang diadakan oleh berbagai macam pihak.

Potret kegembiraan anak-anak yang sedang bermain di halaman rumah

Potret kegembiraan anak-anak yang sedang bermain di halaman rumah

Bicara soal anak, banyak memang yang menjadi masalah dalam perkembangan anak akhir-akhir ini. Yang menjadi isu pentingnya bukan hanya masalah moral, tapi juga masalah bagaimana cara orang tua mendidik anak, seperti dalam memberi perhatian. Ada sebuah pengalaman dari kawan kami, Pak Anhar Ardiyanto, yang menceritakan bagaimana cara yang benar dalam memberi perhatian pada anak. Dahulu Pak Anhar pernah melakukan acara Outing Class di sebuah TK, dimana ada seorang anak yang terkenal pembuat onar dan nakal, sebut saja Ferdy. Guru-guru TK-nya tentu sudah beranggapan dalam acara tersebut Ferdy akan bertingkah onar seperti biasa. Namun, kenyataannya, Ferdy justru bertingkah tertib, kalem dan penurut, benar-benar beda 180 derajat dari tingkah lakunya di kelas.
Sebenarnya apa yang membuat Ferdy justru tertib dalam kegiatan tersebut? Pada kegiatan tersebut, ternyata Ferdy walaupun dikatakan anak nakal, ia kadang diberi perhatian, kadang tidak, kadang diberi tanggung jawab, kadang tidak. Ferdy pun akhirnya merasa ia harus bertindak “baik” agar bisa mendapat perhatian dari sekitarnya. Bahkan Ferdy pun bisa menjawab pertanyaan saat ditunjuk untuk menjawab quiz yang diadakan.
Anak yang dilabel pembuat onar sebenarnya hanya membutuhkan perhatian. Bukan sekedar dalam bentuk uang, tapi juga dalam bentuk tanggung jawab dan kepercayaan. Ferdy yang nakal, saat diberi kepercayaan untuk menjawab quiz dan tanggung jawab untuk bersikap tertib, nyatanya bisa melakukannya dengan baik karena itulah cara ia mendapatkan perhatian. Biasanya anak seperti ini merupakan hasil dari kesalahan orang tua yang kurang meluangkan waktu untuk anaknya dan membuat anak terbentuk sifat perusak. Anak merasa iri bila ada temannya yang menceritakan pengalaman menyenangkan bersama orang tuanya dan anak melihat guru justru menjadi sasaran mencari perhatian.
Masalahnya guru justru tidak dapat mengerti perilaku anak dan tidak paham dengan psikologi anak dan mengambil kesimpulan bahwa anak merupakan pembuat onar.
Beberapa orang tua beranggapan bahwa kurang perhatian pada anak karena alasan ekonomi. Nyatanya kalau di TK pinggiran, kekerasan dalam bentuk bullying terjadi karena orangtua kurang ekonominya. Sedangkan di kota, orang tua justru merasa selalu kekurangan, ingin selalu memenuhi keinginan ekonominya sehingga kurang memberi perhatian pada anak. Intinya anak harus selalu diberi perhatian dalam bentuk kepercayaan dan tanggung jawab, buka sekedar perhatian dalam bentuk uang. Orang tua jaman sekarang harusnya bisa memberi motivasi, mengawasi, memberi intensitas komunikasi yang cukup dan memberi contoh teladan bagi anaknya.
Ada lagi yang mengecewakan untuk orang tua zaman sekarang. Banyak orang tua yang lebih mementingkan grup dan komunitasnya dibanding anaknya sendiri. Ia biasanya lebih memilih mengakrabkan diri dengan teman seprofesinya, bahkan dengan alasan proyek. Bukannya tidak boleh, tapi menjadi orang tua harusnya berarti sebisa mungkin diimbangi dengan intensitas bertemu keluarga.
Memang tidak mudah untuk dapat selalu memenuhi keinginan anak dan terus menjaga intensitas komunikasi dengan anak. Memang perlu mengorbankan beberapa hal yang sebenarnya menjadi obsesi kita. Misalnya saja harus mengorbankan dana untuk meng-upgrade motor untuk biaya les anak. Sebagai orang tua memiliki obsesi memang boleh, tapi di umur mereka sebagai orang tua, berbagai obsesi yang mati harusnya bisa dialokasikan pada anaknya. Bukan berarti anak harus menjadi apa yang dulu kita obsesikan, tapi berikanlah kesempatan pada anak menjadi apa yang mereka inginkan.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Informasi Lainnya