Mayoritas orang berpikir, anak-anak selalu ada pada fase bermain. Makna kata “bermain” pada anak era 90-an hingga 2000-an berbeda dengan zaman sekarang. Saya termasuk orang yang beruntung, di masa kanak-kanak, saya masih sering merasakan main kelereng dan petak umpet. Buku-buku anak karya Walt Disney mudah saya dapatkan.
Sampai saya mengenal PlayStation dan internet, banyak hal yang berubah di masa kanak-kanak saya. Kesenangan, hobi, dan pemakaian kosakata baru mulai saya dapatkan. Kemudian yang menjadi masalah bagi saya adalah kebanyakan perilaku tersebut cenderung mengarah pada hal-hal yang berbau negatif.
Bayangkan bila sekarang ada anak bernama Aldo. Bila sejak berumur 5 tahun ia telah menghabiskan kesehariannya dengan PlayStation, permainan berbasis internet, dan telepon genggam, sebagai hal yang mungkin bukan makanan pada masa kanak-kanak kita dahulu, apa yang akan ia dapat di masa depannya?. Bukan saatnya menyalahkan perkembangan teknologi permainan anak-anak. Bagaimanapun teknologi akan terus berkembang tidak melihat baik atau buruknya dampak yang dialami anak. Situasi semacam ini membutuhkan perhatian dari banyak pihak, baik orang tua, pemerintah, dunia pendidikan, dan masyarakat.
Otak Aldo yang “terbang” terlalu cepat, menjadi keresahan kita bersama. Kita tidak bisa memperbandingkan masa kanak-kanak kita dengan situasi anak-anak sekarang, karena, tantangannya jelas berbeda. Sehingga, cara menasihati anak juga harus disesuaikan. Ada anak-anak di Baturraden, Desa Karangmangu, yang mengalami situasi yang sama dengan Aldo. Keresahan akan situasi ini, membuat Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) menginisiasi wadah belajar anak yang dinamakan Bukit Ilmu.
Seperti dikenal banyak orang, Baturraden merupakan pusat perkembangan Lokawisata yang didalamnya juga terdapat lokalisasi yang bernama Gang Sadar. LPPSLH melihat posisi anak di daerah tersebut rentan terhadap pengaruh negatif kehidupan lokalisasi.
Yayasan belajar Bukit Ilmu mulai dikenalkan pada masyarakat Baturraden (7/7/12). Semangat menjadi teman bermain dan belajar anak-anak di sekitar Baturraden, dilakukan secara swadaya.
Arus globalisasi memang tidak bisa kita hindari, namun, menulis, membaca buku cerita anak, bernyanyi, menari, dan mengaji masih bisa kita perkenalkan pada anak-anak. Selni, Kris, Adji, Winda, dan Karsim selaku pegiat LPPSLH, terus mengajak masyarakat dan para relawan berpartisipasi di Bukit Ilmu.
Pada 6 November 2012, Bunda Dewi dari Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) juga ikut berpartisipasi mengirimkan buku-buku bacaan anak. Relawan Bhineka Ceria, sebagai komunitas di isu pendidikan anak juga terlibat mendampingi anak-anak di Bukit Ilmu. Kelangsungan masa depan pendidikan anak sangat membutuhkan kepedulian banyak pihak, termasuk Anda!. Peduli atau tidak, bagaimanapun masa depan Indonesia ada di tangan anak-anak.
1 Komentar
Membaca cerita pada artikel ini mengingatkan pada pengalam saya waktu ikut berbaur dengan Sanggar Alam Samiaji di Kec.Cilongok. kalau boleh saya kasih masukan, coba kegiatanya jangan hanya di sanggar tapi ajak anak-anak untuk mengenal alam, karena pendidikan formal saat ini jarang sekali ada yang mengenalkan secara langsung tentang Alam dan itu pasti akan menjadi pengalaman yang menarik bagi mereka.