Pancasila…Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa… Dua…
Begitulah kiranya anak SD mengucapkan lima sila saat mereka hendak memulai pelajaran di sekolah.
Pada tanggal 1 Juni 1945, tercetuslah sebagai hari lahirnya Pancasila. Lima sila yang menjadi ideologi bagi bangsa Indonesia. Dan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Namun, kini semuanya pantas dipertanyakan. Kalau anak SD mungkin saja sebagian besar masih sangat hafal dengan lima sila itu.Tapi sayangnya, mereka yang menghafal belum begitu mengerti dengan filosofi dan makna dari lima sila tersebut. Sedangkan bagi orang-orang yang lebih dewasa, atau misalnya saja para mahasiswa, mereka sudah tahu apa filosofi yang dikandung oleh Pancasila, akan tetapi sebagian besar dari orang dewasa sudah tak hafal lagi dengan urutan atau bahkan isi Pancasila.
Tak perlu dipersalahkan dan diperdebatkan pula mengenai hafal tidaknya Pancasila, karena tidak menghafal pancasila pun tidak berarti kita tak mencintai negeri kita, Indonesia. Karena pada dasarnya Pancasila hanyalah sebuah media propaganda tertutup bagi masyarakat, dengan isi pesan yang secara tidak langsung dapat membunuh kemunculan ideologi baru di negeri ini.
Misalnya saja saat Pancasila disebut sebagai warisan luhur bangsa Indonesia, dan merupakan dasar bagi berdirinya bangsa Indonesia. Otomatis pernyataan itu tidak dapat diganggu gugat, dan dengan pesan yang sangat jelas itu maka secara tidak langsung dapat membunuh ideologi-ideologi baru yang akan atau dapat muncul di Indonesia.
Padahal dalam kenyataannya, negeri ini bukanlah negeri impian yang ideal selayaknya lima sila yang isinya sangat ideal. Kita mulai saja melihat isi sila pertama yang menyatakan bahwa ‘KeTuhanan Yang Maha Esa’. Indonesia bukanlah sebuah negara beragama, tapi Indonesia adalah negara yang sebagian besar umatnya percaya dan meyakini bahwa Tuhan adalah Esa, Tuhan adalah satu. Namun, lepas dari yang mayoritas itu, ada sekumpulan minoritas yang tak meyakini dan tak beriman pada Tuhan Yang Esa. Meski pada dasarnya keimanan dan keyakinan manusia bukanlah ditentukan dan dinilai oleh manusia, melainkan oleh Tuhan.
Sila pertama mungkin boleh dibilang sangat subyektif untuk diterapkan pada kehidupan dan realita yang ada dalam masyarakat di Indonesia. Tak jauh berbeda dengan sila ke dua yang menyatakan bahwa ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’. Isi sila ini lebih dipertanyakan, apakah kehidupan manusia Indonesia sudah berada dalam tingkat yang dikatakan adil? Atau mungkin beradab?
Entahlah jika kita berani untuk melihat kenyataan bahwa banyak kelakuan tidak beradab para pejabat di negeri ini yang gemar sekali menelan uang rakyat. Hal itu jelas menghilangkan keadilan bagi rakyat, merenggut hak rakyat yang selalu mengatakan bahwa pejabat di pemerintahan adalah wakil mereka.
Kini dua sila yang ideal itu sudah tak menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, mungkin sila ke tiga akan menyusul jika kita melihat bahwa persatuan di Indonesia sudah sangat miris sekali kita lihat. Kehidupan yang semakin heterogen dan berbagai hal yang terjadi di negeri ini sudah semakin membuat masyarakat di Indonesia menjadi masyarakat yang lebih individualis. Meski Persatuan tak selalu identik dengan masa penjajahan yang mengharuskan kita bersatu melawan penjajah, tapi kiranya persatuan dapat menjadi pondasi yang kuat bagi kita. Hingga akhirnya kini kita menyadari bahwa persatuan Indonesia sudah semakin melemah, bahkan kita hanya akan menemukannya pada peristiwa-peristiwa tertentu saja yang menuntut kebersamaan.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Pasal ke empat sepertinya semakin membuat kita mengernyitkan dahi dan bertanya. Apakah ada hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan di negeri ini?
Bukannya dengan bijaksana menjadi wakil rakyat, para pejabat di gedung indah itu malah lebih senang tertidur di kursi empuk mereka, lengkap dengan beberapa jajanan yang disajikan, ruangan ber AC yang menghilangkan kepanasan udara tropis di Indonesia, mobil mewah yang setia mengantar jemput mereka, plus beberapa skandal yang rajin menghiasi media massa. Mereka wakil rakyat sejati, sampai-sampai menikmati uang rakyat pun mereka wakilkan.
Ingin rasanya tertawa terbahak melihat negeri Indonesia dengan pilar kokohnya yang terbuat dari pasir pantai. Tapi air mata tetap saja mengalir menghiasi ibu pertiwi, apalagi jika mengingat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang selalu digembar-gemborkan untuk mengusik kenyamanan hidup para wakil rakyat yang selalu bijak mewakili rakyat menikmati kenyamanannya. Dimana lagi letak keadilan jika taraf hidup masyarakat Indonesia serba tak dinomor satukan oleh para wakil rakyat yang jago mengumbar janji pada saat kampanye.
Namun terlepas dari itu semua, ada sebuah harapan besar akan pelaksanaan arti sesungguhnya dari Pancasila yang dahulu disusun dengan penuh pertimbangan. Bagaimana sebuah ideologi dapat benar-benar menjadi pondasi bagi berdirinya suatu bangsa dan menjadi pilar yang kokoh untuk membangun sebuah bangsa. Bukan hanya formalitas yang harus dihafal oleh anak SD, hingga terabaikan dan tak terjalani dengan baik.