Praktek prostitusi merupakan fenomena lama yang ada sejak adanya peradaban manusia, tak terkecuali di Indonesia. sampai saat ini, sistem hukum di Indonesia hanya menghukum mucikari dari praktek prostitusi. Negara mengalami kekosongan hukum untuk menjerat pengguna kegiatan prostitusi ini. Hukum harus bergerak secara responsif terhadap permasalahan sosial ini. Berbagai upaya perlu dilakukan, antara lain DPR RI segera menyelesaikan RUU KUHP dengan memasukkan konsep hukuman bagi pengguna kegiatan prostitusi atau pembeli sex.
Pendahuluan Permasalahan prostitusi di Indonesia merupakan hal yang klasik. Permasalahan ini sudah ada sejak adanya peradaban manusia. Berdasarkan data yang dimiliki Kementerian Sosial, dalam 3 (tiga) tahun terakhir pemerintah telah merehabilitasi 5.000 eks Wanita Pekerja Sex (WPS) dari berbagai lokalisasi seluruh Indonesia. Pada tahun 2016, Dirjen Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial menargetkan akan menangani 1.000 WPS. Fakta-fakta itu menunjukkan bahwa prostitusi di Indonesia sudah sampai pada tingkat darurat. Kasus prostitusi muncul lagi di publik dengan serentetan kasus mulai dari prostitusi online, prostitusi di apartemen, hingga prostitusi jalanan dan juga prostitusi yang melibatkan kalangan artis. Kasus prostitusi artis yang terjadi beberapa waktu yang lalu membuat masyarakat melek terhadap hukum. Pertanyaan sederhananya adalah di mana hukum Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan ini?
Bangkit Ari Sasongko Direktur LPPSLH sekaligus pemerhati bisnis prostitusi ada beberapa faktor yang mendorong bisnis prostitusi ini semakin menjamur di Indonesia keberadaan prostitusi sangat berkaitan erat dengan berbagai permasalahan.
Pendidikan Mereka yang menjadi WPS, mayoritas berpendidikan rendah. Dengan pendidikan rendah, tidak dapat diterima bekerja di sektor formal seperti di pemerintah ataupun di swasta. Sementara untuk membuka usaha sendiri, tidak ada modal, keterampilan, tempat berusaha, izin usaha, dan sebagainya.
prostitusi melalui onlaine atau dunia maya, oleh karena itu diperlukan perubahan peraturan hukum sehingga dapat menjerat pelaku prostitusi online. Selain itu hukum juga harus merespon kebutuhan akan ancaman hukuman bagi para pengguna jasa prostitusi Lelaki Hidung Belang , agar dapat memberikan efek jera bagi pengguna. Sehingga pemberantasan prostitusi di Indonesia sebagai tujuan akhir dari penegakan hukum atas prostitusi dapat tercapai ujarnya.
Bertolak dari faktor pendukung lainnya seperti yang telah dijabarkan terkait keberadaan prostitusi di Indonesia. Pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya memang harus dijadikan dasar yang kuat untuk membentuk seorang manusia. Seseorang dengan pendidikan tinggi dipastikan mempunyai ekonomi yang mencukupi, sosialisasi yang baik serta faktor budaya yang baik yakni sikap dan perilaku yang bertanggung jawab.
Hukum akan merespon dengan hukuman pidana dan denda jika seseorang dengan tingkat pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya tertentu melakukan perbuatan melawan hukum. Penutup Terkait prostitusi, hukuman yang diberikan oleh KUHP hanya ditujukan kepada mucikari. Belum ada hukuman pidana dan pidana denda bagi pengguna jasa di dunia prostitusi. Hal ini mengakibatkan kekosongan hukum terhadap pengaturan pengguna jasa prostitusi atau pembeli sex, sehingga penegakan hukum terhadap prostitusi belum dapat dilakukan secara komprehensif.
Hal ini menjadi keseriusan tersendiri , rendahnya hukuman bagi mucikari atau germo dalam KUHP menjadi fenomena ini makin banyak terjadi. Berdasarkan Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP, hukuman maksimal bagi mucikari atau germo hanya satu tahun empat bulan dan denda Rp15 ribu , Sedangkan bagi pelanggan sex dan WPS itu sendiri, tidak bisa ditindak lantaran tidak ada hukum yang mengaturnya. Melihat hal ini perlu ada ketegasan dari sisi aturan hukum, ketegasan sanksi tersebut bisa diatur dalam revisi UU atau membuat aturan yang baru.
“Tidak tegasnya aturan hukum kita terkait prostitusi menjadi faktor yang sangat signifikan maraknya prostitusi terutama prostitusi online,Sejalan dengan itu, pemerintah bersama stakeholder lain wajib menanggulangi angka kemiskinan yang selama ini menjadi alasan perempuan berprofesi WPS. Caranya dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan memberikan edukasi mengenai dampak dari profesi ini. Dari sisi orang tua, wajib menjaga ketahanan keluarga serta pendidikan reproduksi bagi remaja.
Dengan cara pendekatan yang komprehhensif dari kesejahteraan dan hukum yang tegas inilah yang dilakukan beberapa negara di Eropa dan terbukti berhasil menurunkan praktik prostitusi.
Akademisi pengajar Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto Estiningrum,S,H.,M.Hum, berpendapat kemiskinan dan pendidikan yang rendah memicu maraknya perempuan terjun menjadi PSK. Ditambah lagi cara berpikir untuk hidup enak tanpa ada kerja keras semakin membuat persoalan ini terus berkembang. .
Ia sepakat perlu ada sanksi dan regulasi tegas bagi pembeli sex yang diatur pemerintah untuk menanggulangi hal ini. Sejalan dengan itu, pemerintah juga menyediakan penciptaan lapangan pekerjaan dengan memberikan keterampilan bagi masyarakat yang kurang mampu tersebut. Selain itu, pemerintah juga memberikan edukasi bahwa berprofesi sebagai WPS berdampak ke banyak hal, seperti kesehatan dan rentan tertular HIV-AIDS.
Oleh: RA Gunawan (LBH Nusantara Purwokerto)