Sosok perempuan, adalah makhluk yang identik dengan keindahan dan kelembutan, sifatnya yang keibuan seolah menjadikan perempuan sebagai tempat bersandar paling menenangkan. Sungguh indah ciptaan Tuhan akan sosok perempuan.
Tapi lihatlah apa yang terjadi pada kenyataannya, dengan segalanya tentang sosok perempuan seringkali ditempatkan diposisi kedua setelah pria. Setidaknya itulah yang dirasakan dan dipahami oleh masyarakat dari dahulu hingga saat ini. Terlebih lagi dengan berbagai peristiwa yang membuat sosok perempuan semakin miris, bahkan apa jadinya jika perempuan disejajarkan dengan hal yang seringkali membuat manusia lupa diri, seperti uang, godaan negative, dll.
Bayangkan, puluhan tahun silam perempuan senantiasa masih berfikir secara vertical, dimana mereka hanya memikirkan apa yang sudah ada, cara berfikir yang berkaitan dengan pembuktian atau pengembangan pola konsepsi saja. Namun bukan berarti saat ini sudah tidak ada perempuan yang menganut aliran itu yah, karena saat ini juga masih banyak perempuan yang rela untuk menjadi minoritas dibanding kaum pria, seperti halnya dalam karir. Tapi tak jarang juga perempuan yang berambisi mengejar karir, dan mengesampingkan kewajiban-kewajiban besar demi materi, ini tidak keliru, namun tidak ideal saja untuk dilakukan.
Setiap peristiwa menghadirkan peristiwa lain, setiap keadaan menghadirkan keadaan lain, layaknya sebab dan akibat. Hingga akhirnya muncullah emansipasi perempuan, Raden Ajeng Kartini adalah tokoh emansipasi perempuan yang cukup terkenal di Indonesia. Cara berfikirnya yang lateral adalah salah satu hal yang dimiliki perempuan Rembang itu, cara berfikir yang berkaitan dengan pembangunan kembali pola dan pembangkitan sesuatu yang baru atau dikenal sebagai kreativitas.
Emansipasi perempuan bertujuan untuk menjadikan perempuan sebagai perempuan modern, perempuan yang berfikir maju, kreatif, dan memiliki kepedulian untuk lingkungan sekitarnya. Dengan berbagai upaya, para perempuan mulai bergerak untuk meraih impiannya menjadi perempuan modern. Akan tetapi, mereka selalu terikat dengan kodrat dasar perempuan yang seringkali disebut-sebut guna membatasi gerakan perempuan. Meski pada kenyataannya hal yang disebut kodrat perempuan, seperti mendidik anak di rumah, memasak di dapur itu bukanlah sebuah kodrat. Melainkan konsekuensi yang harus diambil karena telah berkomitmen dalam pernikahan dan memiliki keturunan. Jadi jika seorang perempuan memutuskan untuk menikah dan memiliki anak, maka ia dan sang suami sama-sama memiliki kewajiban untuk mendidik anak, mengurus rumah tangga, bahkan memasak di dapur. Hanya saja, tidak semua pria pandai memasak dan tidak semua pria luwes dalam mengurus anak, sehingga secara naluri dan dengan sendirinya ada pembagian tugas yang disepakati.
Hal tersebut sangat jauh lebih baik, karena kesetaraan gender dalam sebuah relasi rumah tangga akan terwujud dengan baik. Dan kebebasan perempuan tetap ada, asalkan ia tak mengabaikan konsekuensi-konsekuensi kehidupan yang sudah menjadi kewajibannya. Misal, urusan anak diberikan pada mertua, orang tua, atau baby sitter, lantas dimana peran perempuan sebagai ibu yang mendidik generasi masa depan?
Jadi, cerdas-cerdaslah menjadi sosok perempuan. Jangan sampai kita menjadi seorang perempuan yang egois, berpikir sepihak, hanya memikirkan materi, kemewahan, pergaulan, dan isi perut saja yang pada akhirnya akan membuat perempuan menjadi sosok yang akan disepelekan oleh sosok pria bahkan kaumnya sendiri.