Kebebasan Berkeyakinan Dalam Kacamata Legal Formal

Agama merupakan sistem kepercayaan kepada Tuhan yang mutlak yang memiliki pengaruh terhadap pemikiran dan perilaku penganutnya. Karena pengalaman manusia akan yang mutlak itu berbeda-beda maka sistem kepercayaan kepada yang mutlak itu tidaklah satu, tapi beragam, ada Yahudi, Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budhha, Konghuchu, baha’i, dan ada juga Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Memeluk suatu Keyakinan adalah hak bagi setiap individu, bahkan hak itu tidak boleh dipaksakan maupun dikurangi dalam keadaan apapun. Karena itu, tiap-tiap individu bisa saja memeluk suatu agama yang berbeda dengan agama yang dipeluk oleh orang lain. Keragaman agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia, di satu titik merupakan kekayaan kultural yang patut disyukuri, namun di sisi lain, dari keragaman itu tidak dikelola dengan baik dapat memunculkan benturan, kekerasan dan bahkan konflik.

Dalam konteks Hak Asasi Manusia, PBB telah mengeluarkan Deklarasi Universal HAM (DUHAM) pada tahun 1948 yang mengatur tentang hak-hak sipil dan politik masyarakat yang diakui internasional. Selanjutnya di kuatkan kembali atas jaminan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat dalam pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak – Hak Sipil dan Politik (Internasional Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)) pada tahun 1951, yang dimana Indonesia telah meratifikasi dalam UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik. Kebebasan dalam berkeyakinan disebut sebagai hak yang tidak bisa dihilangkan (inalienable right).

Definisi agama di dalam Pasal 18 ICCPR sangat luas, mencakup kepercayaan-kepercayaan teistik, non-teistik, dan ateisme, serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apapun (a-teistik). Sedangkan cakupan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan merujuk pada Komentar Umum (General Comments) No. 22 yang dikeluarkan oleh Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”) terkait Pasal 18 ICCPR. Pasal 18 melakukan pembedaan dengan melihat dimensinya, yakni membedakan kebebasan berkeyakinan, dan beragama atau berkepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya. Pembedaan tersebut didasarkan pada rasionalitas bahwa, pertama, dimensi individual yang tercermin dalam perlindungan terhadap keberadaan spiritual seseorang (forum internum) termasuk di dalam dimensi ini adalah memilih, mengganti, mengadopsi, dan memeluk agama dan keyakinan. Kedua, dimensi kolektif tercermin dalam perlindungan terhadap keberadaan seseorang untuk mengeluarkan keberadaan spiritualnya dan mempertahankannya di depan publik (forum externum).

Secara hukum, pembedaan rasionalitas HAM menjadi penting untuk memberikan pedoman atas “wilayah” Negara tetang apa yang diperbolehkan dan untuk membatasi. Komentar Umum No. 22 tersebut juga memberikan batasan bahwa tidak satu pun pengamalan agama atau kepercayaan dapat digunakan sebagai propaganda untuk berperang atau advokasi kebencian nasional, rasial, atau agama, yang dapat mendorong terjadinya diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Pembedaan ini juga menghasilkan komponen dari hak atas kebebasan beragama itu sendiri, yakni: pertama, adalah hak untuk pindah agama (right to change and maintain religion), private intervirum (internal religious freedom), dan, kedua, adalah hak memanifestasikan agama di dalam hal pengajaran, praktik, beribadah dan melaksanakan ibadah.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Post comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.