Indahnya Pembangunan

Pasar nampak dinamis ketika masuk dari sisi Barat, beraneka dagangan mulai dari tempe hingga pakaian dalam, dijajakan oleh para pedagang sepanjang emper toko. Ratusan pedagang yang terdampak pembangunan dipindahkan sementara, berjajar rapi menempati shelter di sisi Barat jalan raya. Seorang pedagang ayam potong duduk termangu di sudut kiosnya yang sepi pengunjung. Hari itu, Kamis 18 Juli 2013, saya bersama rekan Rizal berjalan-jalan menyusuri lorong pasar tradisional Bobotsari. Bukan untuk berbelanja, melainkan untuk berbincang dengan para pedagang yang terdampak pembangunan pasar, khususnya pasar bagian Timur. Pagar pembatas pun ditancap, untuk memisahkan lokasi yang hendak dibangun dengan aktivitas pedagang di sebelah Barat. Sungguh menyiratkan suasana sendu.

Pada tanggal 21 Juni 2013 lalu, LPPSLH bersama Dinperindag Purbalingga memfasilitasi sebuah pertemuan di Aula Kecamatan Bobotsari. Dihadiri sekitar 50 orang pedagang pasar Bobotsari wilayah Timur, diskusi tentang rencana relokasi pedagang pun berhasil disepakati dengan damai. Meskipun saya tidak mengikuti proses revitalisasi pasar Bobotsari sejak awal, akan tetapi proses diskusi yang sangat dinamis membawa pengalaman tersendiri bagi saya dan Rizal. Seorang pedagang sayur dengan kapasitas tonase menyampaikan keberatannya, tentang pembatasan jumlah kios yang boleh dimiliki setiap pedagang. Kemudian ada seorang pedagang ayam potong memprotes keras rencana pemindahan itu. Pengelolaan limbah ayam yang mustahil terkelola di shelter, menjadi alasan mendasar keberatan pedagang.

Sekelumit cerita diatas mengisyaratkan sesuatu telah terjadi di pasar Bobotsari, dan aktivitas pedagang berjalan tidak seperti biasanya. Bagaimanapun sekelumit itu maknanya tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Memindahkan sementara ratusan pedagang memang bukan kiamat bagi pengelola pasar, apalagi jika penataan pasar ini dilakukan untuk sebuah tujuan baik. Siapa yang bisa menolak? Bahkan seorang saudagar kaya, pemilik lima kios di pasar itu harus tunduk pada peraturan yang telah ditetapkan. Ini baru permulaan, karena anggaran pembangunan yang dikucurkan pemerintah hanya cukup untuk membiayai seperenamnya. Sisanya akan ”diupayakan” oleh pemerintah daerah, melalui pengajuan anggaran ke pemerintah pusat secara bertahap di beberapa tahun mendatang. Terdengar pasti, namun belum dapat dipastikan bagaimana proses dan mekanismenya. Bilamana para pedagang dapat kembali menempati kios dan los pasar yang mereka idamkan, sebagai hak ekonomi rakyat?

Pada acara jalan-jalan itu, saya juga berkesempatan untuk berbincang dengan beberapa pedagang yang berbatasan langsung dengan lokasi pembangunan, maupun yang menempati shelter di sisi Barat jalan raya. Konon Agus adalah seorang penjual ayam potong yang sangat laris sebelum pembangunan pasar dimulai. Dalam sehari dia mampu menjual kurang lebih dua kuintal ayam potong. Saat ini, 50 kilogram dalam sehari saja tidak habis. Sungguh penurunan omset yang cukup tajam, bagi siapapun yang menggantungkan hidupnya pada aktivitas dagang. Demikian pula yang terjadi pada Mustingah, seorang pedagang bumbu dari Sokaraja yang mengalami penurunan omset luar biasa. Menurut penuturannya, penurunan omset tersebut dikarenakan kehilangan para pelanggannya. “Setelah kios saya pindah, langganan saya pada bingung nyari, akhirnya mereka kulakan di pedagang lainnya”. Berbeda dengan Mustingah, Alung yang pedagang grabah mengeluh tidak dapat memajang seluruh dagangannya, karena ukuran shelter yang disediakan sangat sempit. Dia terpaksa mondar-mandir ke rumah untuk mengambil barang dagangan, apabila ada pembeli yang membutuhkannya.

Mendasar pada puluhan cerita yang dihimpun dari para pedagang, saya jadi berfikir keras tantang makna sebuah pembangunan. Revitalisasi pasar tradisional, konon merupakan program yang konsepnya cukup baik untuk dikembangkan. Penguatan management pasar dengan model zonasi, salah satunya akan meningkatkan kenyamanan masyarakat dalam berbelanja. Namun demikian, dari sebuah tujuan penataan pasar yang disematkan melalui Program Revitalisasi Pasar Tradisional, ada cerita miris dibaliknya. Secara fisik, bangunan pasar yang menurut rencana akan berlantai dua, menjanjikan penataan pedagang yang lebih baik. Akan tetapi, secara kultur apakah perencanaan ini dapat dipastikan lebih efektif bagi penerima manfaat?

Pasar Bobotsari bagian Timur merupakan pintu masuk paling padat, karena masyarakat dari Karangmoncol dan Karanganyar datang untuk berbelanja dari arah itu. Ironisnya, justru pintu masuk itulah yang saat ini ditutup karena pembangunan pasar bagian Timur. Bisa dibayangkan seperti apa nasib para pedagang yang dipindahkan sementara, tak terkecuali pedagang yang berbatasan langsung dengan  lokasi pembangunan. Berdagang di jalan buntu dan menunggu pelanggan setia datang, tetapi tidak mampu berharap lebih dari pembeli yang ”hanya lewat”, karena memang jarang yang lewat. Saya masih berpikir keras, kenapa tujuan pembangunan melahirkan persoalan baru, sebuah realitas yang tidak bisa dicuekin lagi. Kehilangan kios dan los, omset yang menurun drastis, kebutuhan hari raya yang mendesak, semua butuh solusi. Jika pembangunan ini telah direncanakan secara partisipatif, kenapa dampak jangka pendek yang timbul saat ini menjadi sangat kasat mata?

 

Penulis : Yuliana Desi P. (Manajer Program PUK-M)

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Post comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.