‘Kenikmatan’ Korupsi Merajalela di Negeriku – Korupsi memiliki arti pembusukan… tapi, akan lebih layak jika korupsi disebut sebagai suatu hal busuk yang penuh kenikmatan. Apakah yang menguatkan anggapan ini?
Indonesia menempati posisi cukup mentereng dalam jajaran negara terkorup. Cukup membuat kita miris dan menelan ludah untuk menerima kenyataan ini. Bagaimana tidak kalau dari sebuah data Indonesia memang berada dalam posisi sepuluh besar negara terkorup di dunia.
Tak heran, seperti halnya saja sekarang, rakyat di negeri ini sedang dibuat tercengang kembali dengan kasus korupsi. Korupsi, lagi-lagi korupsi.
Korupsi yang memunculkan nama-nama kelas kakap, bahkan tak tanggung-tanggung, sederet anggota DPRD di kota Malang pun digelandang oleh KPK bak study tour anak sekolah tempo dulu.
Masyarakat kecewa, mungkin begitulah sedikit gambaran akan perasaan rakyat di Indonesia saat ini pada para pejabat pemerintahan yang lebih asik memperkaya diri mereka ketimbang mensejahterakan rakyatnya. Kita menyadari bahwa masyarakat Indonesia saat ini, mayoritas masih berada dalam keadaan ekonomi menengah kebawah.
Lepas dari itu, sebenarnya bibit korupsi di bumi ini mungkin sudah mendarah daging dan menjadi budaya yang tak dapat lepas dari sifat tamak manusia. Tak hanya tamak akan materi, jabatan, dan kehormatan. Lihat saja, bagaimana seorang mantan presiden yang sepertinya belum rela lengser tak bisa menjaga imej nya untuk menjadi negarawan yang patut dihormati. Merasa tak pernah cukup akan suatu hal yang dimilikinya, merasa serba kurang meski sudah diberi kekayaan lebih, atau korupsi memang suatu hal biasa yang sudah menjadi rahasia umum. Bagaimana tidak kalau korupsi ini memang layak disebut sebagai rahasia umum.
Saya berani menjamin, dalam sebuah instansi perusahaan baik yang kecil ataupun yang besar, pemerintah ataupun swasta, para pelaku perusahaan itu pasti tak pernah luput dari hal yang bernama ‘korupsi’. Jika tak mempunyai buktinya, coba saja tanyakan pada hati nurani masing-masing. Dan parahnya, sebuah tindakan korupsi ini pasti dilakukan secara beramai-ramai, layaknya suatu sistem jaringan yang saling mendukung.
Setiap pihak yang terlibat memiliki perannya masing-masing yang berfungsi melancarkan suatu tindakan korupsi, dan setiap pihak itu juga akan mendapatkan bagiannya masing-masing. Ibaratnya hal seperti ini adalah suatu bentuk kerjasama yang negatif. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari hal yang tak diinginkan, misalnya jika ada pihak tertentu yang tidak puas dengan apa yang diterimanya, merasa kepepet, atau pihak tersebut memang masih memiliki sikap idealis yang tinggi. Maka ia akan membuka mulut, mengungkapkan tindakan-tindakan korupsi tersebut pada khalayak.
Ya…, ini adalah rahasia umum. Apabila satu orang melakukan korupsi, maka untuk menutupi atau membuat tindakannya itu tetap berjalan mulus, maka mau tak mau dia harus rela berbagi ‘kenikmatan’ dengan pihak-pihak lain yang dapat menjadi ‘ancamannya’, dan begitulah seterusnya. Sebuah kerjasama yang layak mendapat acungan sepuluh jempol.







