Jurangjero, Dusun dalam Perangkap Jurang Pemberdayaan

Kelompok Perempuan Pelaku Usaha Kecil yang berjalan Dusun Jurangjero, Desa Sidomulyo, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora

[av_dropcap1]A[/av_dropcap1]sih, perempuan paruh baya yang lahir dan tinggal di Desa Sidomulyo Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora, bergumam kesal. Pagi itu segerombolan perempuan dari enam perdukuhan di Desa Sidomulyo berjalan menuju Dusun Jurangjero untuk belajar bersama dalam sekolah lapang. Sebagai seorang istri guru, Asih belum pernah sekali pun berjalan kaki jauh, apalagi jalan kaki ke Jurangjero. Ya, Jurangjero memang sebuah momok bagi sebagian besar masyarakat Sidomulyo. Padahal, dukuh berpenduduk sekitar 130 kepala keluarga ini merupakan bagian dari Desa Sidomulyo.

Kelompok Perempuan Pelaku Usaha Kecil yang berjalan Dusun Jurangjero, Desa Sidomulyo, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora

Seperti halnya Asih, Parni yang istri seorang modin di Dusun Pengkrik pun berkeluh kesah saat berjalan menyusuri setapak menuju Jurangjero. Saya sempat khawatir pada aktivitas belajar yang sudah kami sepakati, karena para peserta tampak kelelahan dan berwajah muram. Setelah 20 menit berjalan kaki menanjak, satu persatu mulai tergambar antusias di wajah mereka. Sambil menatap kedepan, Mufidah pun berkata, ”Saya bisa merasakan perjuangan saudara-saudara kita yang setiap hari berjalan dari Jurangjero ke Pasar Mojo, jalan kaki”. Para peserta merasa lelahnya terbayar, mereka rehat sejenak untuk meneguk air putih seraya mengulur nafas. Saat itulah para peserta secara bebas memotret panorama Dusun Jurangjero, karena mereka telah berada di puncak bukit. Sayup-sayup terdengar musik dangdut, pertanda kehidupan di Jurangjero berdenyut kencang.

Di perjalanan kami pun berjumpa dengan beberapa lelaki mengangkut rencek jati dengan sepeda motor butut mereka. Ada yang berjenis ranting, tetapi ada pula yang sudah termasuk gelondong. Saat kami menuruni jalan curam berbatu menuju Jurangjero, kami juga menjumpai seorang pengendara sepeda motor dengan tumpukan daun jagung menjulang dibelakangnya. Entah karena bebannya yang terlalu berat atau karena jalan berbatunya yang terlampau terjal, tiba-tiba sepeda motor tersebut mogok ditengah jalan. Tanpa harus dikomando, beberapa diantara peserta langsung membantu dengan mendorong sepeda motor tersebut dari belakang.

Dalam perjanan menuju Dusun Jurangjero, para peserta mendapat beberapa pelajaran baik, salah satunya tentang solidaritas. Bagaimanapun Jurangjero merupakan bagian dari Desa Sidomulyo, tetapi infrastrukturnya lebih buruk dari per dusun lainnya. Tidak ada taman kanak-kanan, apalagi sekolah dasar, setapaknya pun masih berbatu cadas. Meski Dusun Jurangjero berdekatan dengan bendungan peninggalan kolonial, namun masyarakat disana mengalami krisis air pada musim kemarau. Ironisnya pada musim penghujan sawah ladang mereka terendam air, karena debet air di bendungan meluap. Secara geografis Dusun Jurangjero memang berada segaris dengan ketinggian bendungan. Pada masa orde baru, pernah ada himbauan dari pemerintah tentang relokasi penduduk dusun. Namun tidak satupun diantara mereka yang bersedia meninggalkan kampung halaman yang telah mengukir rentetan kisah kehidupan leluhurnya.
Setibanya kami di rumah seorang tokoh masyarakat Jurangjero, Pak Bambang menyuguhi para peserta minuman berenergi dalam ceret berembun yang dingin. Dengan bangga dia mengatakan, baru saja ada tamu dari Jakarta yang minta petunjuknya. Konon, Pak Bambang ini berprofesi sebagai penasehat spiritual bagi para elit politik dan pejabat di Kabupaten Blora, bahkan tidak sedikit pula yang berasal dari luar Blora. Ada sebuah tanya muncul di benak peserta, meski tidak terungkap namun tergambar jelas pada garis-garis di kening mereka. Seorang pertapa yang memiliki relasi kental dengan pejabat dan elit politik, namun tidak mampu menolong kampung halamannya yang terpinggir? Keterpinggiran yang telah merenggut sebagian generasi mudanya dari kerja-kerja produktif di ladang kering pinggiran hutan?
Adik perempuan Bambang, Yuntari bertutur tentang kepahitan hidup yang dia alami dalam kurun 35 tahun terakhir. Dahulu, di usianya yang ke 10 Yuntari berhenti sekolah, orang tuanya memaksa dia untuk menikah kala usianya belum genap 12. Pernikahan dini yang dia alami merupakan pengalaman yang jamak dialami oleh anak perempuan di dusunnya. Jarak dan medan tempuh yang tidak sederhana untuk ditaklukkan, membuat mimpinya tentang sekolah menengah pun kandas ditengah jalan. Ibu dua putri ini kini telah menekuni pekerjaan sebagai tukang sayur keliling sebagai sebuah kenyataan hidup. Asal putri sulungnya dapat bersekolah hingga tamat sekolah menengah atas, Yuntari tetap ikhlas menyusuri berkilo meter setapak berbatu, hujan maupun terik.
Dia hanya berharap, kehadiran teman-teman perempuan dari perdukuhan yang belajar dalam sekolah lapang, mampu memotret realitas kampung halaman Yuntari secara cermat. Menyampaikan kepada elit politik dan pejabat di kabupaten, tentang buruknya infrastruktur di Jurangjero dan minimnya sentuhan pemberdayaan dari pihak yang berwenang.

Penulis : Yuliana Desi P. (Manajer Program PUKM LPPSLH)

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Post comment